Banyak yang tidak terlalu mengenal sosok Douwes Dekker. Pria yang di
tubuhnya mengalir darah Belanda, Perancis, Jerman, dan Jawa ini justru
memiliki semangat kebangsaan yang lebih membara ketimbang penduduk
bumiputera. Dalam pendidikan dasar tentang sejarah Indonesia, Douwes
Dekker hanya disebut sepintas dan tidak mendetail seperti Soekarno dan
Hatta, padahal perannya sebagai penggerak revolusi tidak terbantah.
Dalam buku pelajaran sejarah di pendidikan Indonesia, Douwes Dekker
sering rancu dalam penyebutannya. Ia sering disamakan dengan saudara
kakeknya, Eduard Douwes Dekker. Meski sama-sama berasal dari klan Douwes
dan Dekker, keduanya berbeda. Eduard Douwes Dekker adalah penulis buku
yang menceritakan penderitaan rakyat Indonesia selama penjajahan,
berjudul Max Havelaar. Eduard Douwes Dekker dikenal dengan nama pena
Multatuli. Sedangkan yang akan Anda baca adalah Ernest Douwes Dekker,
peletak dasar nasionalisme Indonesia, pendiri Indische Partij, dan
kemudian dikenal dengan nama Danudirdja Setiabudi.
Bung Karno pernah menyebutkan bahwa dirinya berguru kepada Douwes
Dekker mengenai gagasan revolusi Indonesia, sedangkan Douwes Dekker
menyebut Bung Karno sebagai juru selamat Indonesia. Gagasan Douwes
Dekker melampaui jaman, ia merupakan orang pertama yang mendirikan
partai politik di Indonesia. Douwes Dekker –yang lebih sering mengaku
sebagai orang Jawa ketimbang orang Belanda- memimpikan kemerdekaan
Indonesia. Ironisnya, ia hidup di pembuangan ketika proklamasi
dibacakan.
Pengurus Indische Partij: baris depan Tjipto Mangoenkoesoemo, Ernest Douwes Dekker dan Soewardi Suryaningrat
Douwes Dekker diberi label berbahaya oleh pemerintah Belanda karena
dianggap kerap menghasut rakyat pribumi untuk berontak. Lihat
selengkapnya biografi singkat Douwes Dekker di bawah ini.
Nama lengkapnya Ernest François Eugene Douwes Dekker atau Danudirdja
Setia Budi. Lahir di Pasuruan, 8 Oktober 1879. Pendidikan HBS,
Universitas Zurich Swiss. Ia adalah seorang yang dijuluki Penjahat
Internasional karena sikapnya yang terang-terangan menentang agresi
bangsa-bangsa Eropa terhadap bangsa Asia dan Afrika.
Di masa perjuangan, ia dikenal sebagai orang yang pertama kali
mencanangkan semboyan 'Indie Los Van Holland' (Indonesia lepas dari
Negri Belanda). Dalam membantu menghindari kaum lemah dari penindasan
golongan penguasa dengan cara terjun ke dunia jurnalistik dan
menggunakan media untuk menyebarkan gagasan-gagasannya.
Awalnya ia menjadi wartawan bebas sampai menerbitkan majalah sendiri.
Tahun 1910 di Bandung ia menerbitkan majalah "Het Tajdeschrift" yang
menjelaskan cita-cita politiknya yang mendapat sambutan cukup
luas. Tanggal 1 Maret 1912 ia menerbitkan "De Express" yang terkenal
bernada tajam dan tidak jemu-jemu menyerang dan menentang politik
penjajahan Belanda.
Harian itu menjadi sarana bagi pemuda-pemuda Indonesia untuk
mengemukakan buah pikiran mereka mengenai perjuangan membebaskan bangsa
dan penjajahan. Dalam perjuangannya, tahun 1972 ia mengontak Dr.Tjipto
Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat. Tanggal 25 Desember 1925 mereka
mendirikan "Indische Partij" yang tujuannya mempersatukan bangsa dan
mencapai kemerdekaan.
Tahun 1913, Pemerintah Hindia Belanda bermaksud mengadakan peringatan
"100 Tahun bebasnya Negeri Belanda dari penjajahan Perancis". Peringatan
tersebut akan diadakan secara besar-besaran dalam bulan Nopember 1913
dibentuklah komite yang bernama "Komite Bumi Putra" oleh Tjipto
Mangunkusumo, Suwardi Suryaningrat, Abdul Muis dan Wignyadisastra.
Komite mendesak agar Pemerintah secepatnya mengadakan perubahan dalam hubungan kolonial membentuk Parlemen dan meningkatkan usaha mencerdaskan rakayat. Suwardi Suryaningrat menulis brosur berjudul "Als Ik een Nederlanderwas" (seandainya aku seorang Belanda). Dr. Tjipto menulis dalam "De Express" artikel "Kracht of Vress"(kekuatan dan ketakutan). Pemerintah Belanda gempar, Tjipto Mangunkusumo, Suwardi Suryaningrat, Abdul Muis dan Wigyadisastra ditangkap dan dipenjarakan.
Danudirdja Setiabudi merupakan nama Indonesia yang dipilih oleh Douwes Dekker. Setiabudi yang baru pulang dari Belanda menulis karangan yang menyanjung Tjipto, Suwardi sebagai Pahlawan kita Tulisan itu menjadi alasan Pemerintah menangkap dan menahannya.
Abdul Muis dan Wignyadisastra dibebaskan namun Suwardi, Tjipto dan
Setiabudi dijatuhi hukuman buang di alam negri dan berdasarkan
permintaan mereka diubah dibuang ke negri Belanda. Selama berada di luar
negri Setiabudi berhasil mendapatkan akte Guru Eropa.
Ketika Agresi Belanda akhir 1948 ia ditangkap di Kaliurang, kemudian
dipenjara di Wirogunan-Yogyakarta dan tanggal 2 Desember 1948
dipindahkan ke Jakarta. Setelah pengakuan kedaulatan RI, ia bersama
tokoh-tokoh RI dibebaskan. Selama + 40 tahun ia berjuang untuk
kemerdekaan tanah air Indonesia, mengalami siksaan, hinaan yang luar
biasa termasuk hidupnya selama 17 tahun dipenjara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar